Indonesiafakta.com — Bencana alam di Sumatera dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa faktor lingkungan bukan satu-satunya penyebab utama. Di balik runtuhnya hutan, meluasnya banjir, dan meningkatnya tanah longsor, terdapat andil kebijakan politik yang tidak dapat diabaikan. Politik memengaruhi tata kelola wilayah, izin industri, hingga prioritas pembangunan daerah. Karena itu, memahami hubungan antara kebijakan politik dan bencana di Sumatera menjadi langkah penting untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Salah satu aspek terbesar adalah kebijakan tata ruang yang sering kali tidak konsisten atau berubah-ubah mengikuti kepentingan tertentu. Banyak wilayah yang seharusnya menjadi kawasan lindung justru dialihfungsikan menjadi area industri, perkebunan, atau permukiman. Di Sumatera, ekspansi besar-besaran perkebunan sawit dan penebangan hutan kerap mendapat lampu hijau melalui kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Ketika hutan yang berfungsi menyerap air hilang, banjir menjadi ancaman tahunan yang sulit dikendalikan. Di banyak daerah, masyarakat menjadi korban meski tidak berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan tersebut.
Selain itu, proses perizinan yang sering didorong oleh kepentingan ekonomi jangka pendek menjadi faktor penting terjadinya bencana. Perusahaan yang beroperasi di hulu sungai, kawasan pegunungan, atau area rawan longsor tidak selalu menjalankan analisis dampak lingkungan dengan ketat. Dalam beberapa kasus, izin diberikan tanpa pengawasan memadai, bahkan terkadang disertai praktik korupsi. Akibatnya, aktivitas tambang ilegal, pembukaan lahan tanpa kontrol, hingga pembakaran hutan marak terjadi. Kebijakan yang lemah dalam pengawasan inilah yang membuat bencana alam terjadi tidak lagi sebagai fenomena alami, tetapi sebagai konsekuensi langsung dari keputusan politik.
Kebijakan mitigasi bencana juga berperan besar terhadap tingkat kerusakan yang terjadi. Banyak daerah di Sumatera belum memiliki sistem peringatan dini yang kuat atau infrastruktur penanggulangan bencana yang memadai. Padahal, Sumatera adalah salah satu wilayah dengan aktivitas tektonik paling aktif di Indonesia, selain memiliki risiko tinggi terhadap banjir dan longsor akibat curah hujan ekstrem. Minimnya prioritas anggaran untuk mitigasi memperparah dampak bencana ketika terjadi. Di beberapa tempat, alokasi anggaran untuk penanganan bencana kalah dari kebutuhan politik lain yang dianggap lebih mendesak.
Andil politik juga terlihat dalam pemanfaatan sumber daya alam. Beberapa kebijakan daerah mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya tanpa mempertimbangkan kapasitas lingkungan jangka panjang. Misalnya, penambangan batu bara, emas, atau pasir yang dilakukan tanpa reklamasi memadai meninggalkan lahan kritis yang rentan longsor. Ketika musim hujan tiba, tanah yang tidak stabil mudah runtuh, menimbun permukiman dan jalan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan pada akhirnya kembali menghantam masyarakat itu sendiri.
Tak kalah penting adalah peran politik dalam pengelolaan lahan dan konflik agraria. Di banyak wilayah Sumatera, konflik lahan antara masyarakat adat, petani, dan perusahaan menjadi pemicu pembukaan hutan yang tidak terkontrol. Ketika hak masyarakat adat tidak dilindungi melalui kebijakan yang jelas, mereka kehilangan akses untuk menjaga kawasan hutan yang selama ratusan tahun mereka lestarikan. Akibatnya, kawasan tersebut dengan mudah digunakan untuk kegiatan komersial yang merusak ekosistem. Politik yang abai terhadap hak masyarakat lokal justru mempercepat kerusakan lingkungan dan meningkatkan risiko bencana.
Namun, tidak semua kebijakan politik membawa dampak negatif. Beberapa pemerintah daerah mulai memperketat aturan lingkungan, meningkatkan pengawasan, serta mendorong konservasi hutan melalui program restorasi. Kesadaran politik terhadap pentingnya kelestarian lingkungan mulai tumbuh, meski pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan komunitas lokal menjadi kunci untuk menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
Melihat berbagai faktor tersebut, jelas bahwa bencana di Sumatera tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik. Kebijakan yang dibuat hari ini menentukan kondisi alam di masa depan. Jika kebijakan terus mengutamakan kepentingan jangka pendek tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, maka bencana akan terus berulang. Sebaliknya, jika politik berpihak pada keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat, Sumatera dapat bangkit sebagai wilayah yang lebih tangguh menghadapi ancaman bencana.